Arti “Eli, Eli, Lama Sabakhtani?” secara sederhana adalah: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” yang dicatat di dalam Injil Matius?

Sebenarnya makna atau arti ucapan “Eli, Eli, lama sabakhtani?” sangat dalam, sehingga kita perlu mempelajarinya agar dapat memahaminya dengan benar.

Arti ungkapan “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Semakin penting kita ketahui karena itu adalah salah satu dari perkataan Tuhan Yesus di kayu salib, perkataan keempat dari tujuh perkataan yang diucapkanNya selama Ia disalibkan.

“Eli, Eli, lama sabakhtani?” Ini merupakan seruan Tuhan Yesus tentang penderitaan rohani yang sedang dialamiNya, sebelum seruanNya yang kelima tentang penderitaan jasmani.

Alkitab mengatakan bahwa ketika Yesus sedang berada di atas kayu salib, kegelapan menguasai seluruh daerah itu selama tiga jam, dari pukul 12 siang hingga pukul 3 sore.

Tampaknya dalam rentang waktu tiga jam ini tidak ada perkataan Yesus yang keluar. Tiga perkataanNya yang pertama tampaknya diucapkanNya sebelum tiga jam masa kegelapan tersebut.

Setelah masa kegelapan selama tiga jam itu berakhir, maka Yesus mengucapkan perkataanNya yang keempat.

Inilah satu-satunya perkataan yang dicatat dalam Injil Matius dan Injil Markus.

Injil Matius mencatat,

“Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: Eli, Eli, lama sabakhtani? Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46)

Seruan Tuhan Yesus ini tidak dipahami oleh orang-orang yang menyaksikan penyalibanNya. Mereka mengira bahwa Yesus sedang memanggil Nabi Elia, salah satu nabi terbesar di Perjanjian Lama.

Hal ini disebabkan kemiripan kata “Eli” atau Allah dalam bahasa Aram (bahasa sehari-hari Yesus adalah bahasa Aram, bukan bahasa Ibrani) dengan nama nabi Elia.

Kata-kata pilu ini diserukan oleh Tuhan Yesus di atas kayu salib, tidak lama sebelum Ia menyerahkan nyawaNya kepada BapaNya.

Seruan ini merupakan kutipan dari ayat Perjanjian Lama, yakni Mazmur 22:2.

Ini adalah penderitaan terbesar yang pernah terjadi di dunia. Bagi Tuhan Yesus, ini bukan sekedar penderitaan secara fisik ataupun penderitaan secara psikologis.

Ia memang telah mengalami penderitaan fisik yang berat (dicambuk, dimahkotai duri, dipaku), maupun penderitaan psikologis (dihianati Yudas, diludahi, diolok-olok, ditinggalkan murid-muridNya).

Namun bukan karena itu Ia mengucapkan perkataanNya yang keempat ini.

Ini adalah penderitaan secara rohani, yang hanya bisa dialami oleh Yesus yang tidak berdosa.

Dosa seluruh dunia sedang ditimpakan kepadaNya. Ia, satu-satunya manusia yang tak berdosa, bertindak sebagai pengganti bagi seluruh manusia yang berdosa.

Ia mati menggantikan posisi manusia yang seharusnya dihukum karena dosanya (2 Korintus 5:21).

Di sini Yesus merasakan penderitaan yang tak terperikan, bukan hanya penderitaan jasmani dan jiwani, tetapi yang lebih besar lagi adalah penderitaan rohani.

Karena Yesus sedang memikul dosa seluruh manusia, maka Allah memalingkan mukaNya dari Yesus. Allah yang maha kudus merasa jijik dengan dosa manusia (Habakuk 1:13a).

Karena itu untuk sementara Yesus “ditinggalkan” oleh BapaNya.

Ini memang masih menyimpan sebuah misteri bagi kita, yang di luar nalar kita manusia.

Tinggalkan Balasan